PPDB,
Diskriminasi Pendidikan Gaya Baru
Tahun ini merupakan tahun sulit bagi banyak orang, termasuk dalam
dunia pendidikan.
Pasalnya, adanya wabah virus Corona ini membuat banyak orang rencananya buyar.
Contoh nyatanya adalah saat pendaftaran siswa/mahasiswa baru. Tidak bisanya
ketemu langsung dengan pihak sekolah merupakan kendala bagi banyak orangtua. Di satu sisi,
pendaftaran online sangat menguntungkan. Di sisi lain, tidak semuanya bisa
di-online-kan. Misalnya, orangtua pasti ingin ketemu dan tahu, kenal siapa
admin sekolah dan minimal kenal salah satu guru anaknya sebagai tempat bertanya
nanti. Ini wajar dalam dunia pendidikan, khususnya usia anak-anak. Selain masalah yang dipaparkan sebelumnya , isyu lain yang banyak dibicarakan public adalah soal pembatasan usia
sekolah. Pembatasan usia ini menuai pro dan kontra ada yang setuju dengan
pendapat para ahli psikologi anak, bahwa sebaiknya memperlakukan anak tetap
sebagai anak-anak, sesua tumbuh kembangnya. Tidak boleh dipaksakan. Pendapat yang
satu lagi percaya bahwa setiap anak lahir dengan bakat dan tumbuh kembangnya
sendiri, yang tidak sama antara yang satu dan lainnya yang ini juga perlu diperhatikan. Oleh sebab itu,
kebijakan membatasi umur tertentu saat mendaftaran sekolah, terkesan dan
dianggap sebagai salah satu bentuk diskriminasi yang sudah tidak sesuai dengan
perkembangan zaman.
Kita sudah banyak melihat contoh doctor-doktor di negeri ini yang
diraih oleh orang-orang yang masih sangat muda usia. Tahun lalu misalnya, di
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) saat menyelenggarakan wisuda ke 119.
Terdapat seorang pria muda bernama Rendra Panca Anugraha, berhasil menyandang
gelar doctor pada usia 24 tahun 4 bulan. Itu berarti, pada usia 21 tahun sudah
menyelesaikan S2, dan usia 19 sudah rampung S1, dan umur 15 tahun sudah tamat
SMA. Ini jika dia sekolah terus tanpa henti. Menurut sebuah artikel
yang dimuat di m.brilio.net, ada 6 doktor yang menyelesaikan program S3 nya
pada usia sangat muda. Di antaranya adalah Cindy Priadi (26 tahun) di
Universitas Paris-Perancis, Arief Setiawan (25 tahun), Shinta Amalina (25
tahun) di Wuhan University of Tecnology-Tingkok, Elanda Fikri (26 tahun) di
STPDN Jatinangor, dan Rendra yang sudah disebut di atas. Dari contoh di atas
menunjukkan bahwa kita memiliki generasi pintar yang potensial bisa
menyelesaikan jenjang pendidikan formal tanpa menunggu usia tua. Tidak harus
jadi seorang jenius untuk bisa segera menyelesaikan pendidikan setingkat SMA dan
sarjana.
Namun pembatasan usia tertentu untuk sekolah masuk SD misalnya, adalah
bentuk diskriminasi yang jelas-jelas menghambat berkembangnya insan Indonesia.
Dan ini menyalahi tujuan nasional pendidikan serta tujuan umum bangsa Indonesia
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Alinea 4. Saya pernah kenal
dengan anak orang India, Akash namanya. Waktu saya tanya kelas berapa, dia
bilang kelas 4 SD. Saat saya lanjutkan bertanya umur berapa, dia jawab 8
tahun. Saya kaget. Berarti umur 5 tahun sudah masuk SD. Pantesan
sarjana-sarjana di India rata-rata sudah selesai pada umur 21 tahun. Demikian
pula sarjana Filipina. Di kita ini, sudah umurnya tua saat lulus sarjana, sulit pula mau cari
kerja. Mana kurikulumnya diajar materi-materi yang tidak fokus pula. Jadinya
lulus sarjana pun, kompetensinya masih dipertanyakan. Belum lagi kemampuan Bahasa
Inggris yang belepotan. Pada prinsipnya, pembatasan usia sekolah saat ini suda tidak relevan
dengan zaman. Yang tepat adalah lakukan test penerimaan, golongkan dan pisahkan
anak-anak yang potensial, berbakat dan yang biasa-biasa saja. Memang agak sulit
dan lebih ama prosesnya. Namun demikianlah memang pendidikan. Kalau mau yang
berkualitas, prosesnya tidak gampang. Seperti di India, berlakukan dua sistem pendidikan. Yang
jalur nasional dan jalur bahasa Inggris. Yang jalur Inggris menggunakan
kurikulum internasional. Biar rakyat yang memilih, Pemerintah jadi fasilitator yang menikmati bangsa Indonesia. Jika tidak,
jangan heran kalau negeri ini akan malu, ketinggalan jauh dari negara-negara
kecil yang merdekanya kemarin sore. Bahkan yang lebih melarat dari kita
ternyata mengantongi Index Pembangunan Manusia (Human Develoment Index) lebih tinggi. . Duh Gusti, mau diajak ke
mana generasi muda ini?
0 Response to "PPDB, Diskriminasi Pendidikan Gaya Baru"
Posting Komentar